Saatnya Membuat Perbedaan dengan Melakukan Kebaikan
“Carry out a random act of kindness, with no expectation of reward, safe in the knowledge that one day someone might do the same for you.” -Princess Diana-
Tahukah kamu bahwa Indonesia adalah negara paling dermawan di dunia?
Ya. Charities Aid Foundation (CAF) pada pertengahan 2021 lalu melaporkan dalam World Giving Index (WGI) 2021 bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama dalam survey mengenai negara paling dermawan di dunia. Penilaian tersebut didasarkan pada tiga aspek, yakni membantu orang asing, menyumbangkan uang ke lembaga amal, dan mengikuti kegiatan amal secara sukarela.
Selain kedermawanannya, masyarakat Indonesia juga terkenal dengan budaya gotong royongnya. Konsep yang terkandung dalam gotong royong adalah berbagi beban di antara anggota masyarakat. Interaksi antar anggota masyarakat semacam ini dapat berkembang menjadi persahabatan jangka panjang karena sangat efektif dalam membangun kepercayaan. Budaya gotong royong membantu masyarakat untuk berbagi tanggung jawab dan mencegah terjadinya konflik antar komunitas.
Lalu, bagaimana dengan negara-negara lain? Apakah bentuk kebaikan itu sama di semua tempat, atau berbeda antara budaya yang satu dengan lainnya? Sebuah studi menunjukkan bahwa tindakan kebaikan dapat membuat siapa saja bahagia, meskipun pelakunya berasal dari budaya yang berbeda-beda.
Kebaikan memang bersifat universal dan akan selalu dihargai di manapun di dunia ini. Namun definisi spesifik dari kebaikan – yaitu apa yang dianggap baik untuk dilakukan – terkadang bisa berbeda dari satu negara ke negara lainnya. Setiap budaya memiliki kebiasaan dan tradisinya sendiri terkait apa yang dianggap sebagai kebaikan, kasih sayang, dan keramahan.
Yuk, kita melihat bagaimana orang-orang menunjukkan kebaikan di berbagai negara di dunia. Mari kita jadikan kisah-kisah ini – baik yang berasal dari tradisi budaya kuno maupun yang merupakan bentuk kedermawanan modern – sebagai inspirasi bagi kita untuk membuat perbedaan di masyarakat melalui tindakan kebaikan.
- Yunani
Di zaman Yunani kuno, menunjukkan keramahan terhadap orang asing dianggap sebagai perintah para dewa, khususnya dewa Zeus. Dewa Zeus dikenal juga dengan nama Zeus Xenios yang mengandung arti “pelindung orang asing”. Jika ada tamu atau orang asing yang mengetuk pintu rumah, orang Yunani wajib menyambut mereka dengan makanan dan tempat berteduh sebelum mengajukan pertanyaan apa pun terhadap orang asing tersebut. Sementara di pihak tamu, mereka diharapkan untuk menunjukkan rasa hormat dengan tidak melewatkan satu pun sambutan yang disediakan bagi mereka. Jika mereka tidak memenuhi salah satu dari persyaratan-persyaratan ini, mereka akan membuat murka para dewa.
Saat ini, ekspresi kebaikan melalui keramahan terhadap orang asing ini dikenal dengan istilah philoxenia. Philo berarti peduli, sementara xenia mengandung makna pentingnya menunjukkan kemurahan hati dan sopan santun terhadap pelancong yang jauh dari rumah. Bentuk kebaikan yang diharapkan untuk kita tunjukkan dalam kaitannya dengan philoxenia ini dapat sesederhana menyambut teman dari teman untuk tinggal di rumah kita, membeli makanan untuk orang tunawisma, atau membantu pengendara yang tersesat di jalan.
- Jepang
Sebagai negara yang sering disebut paling sopan di dunia, Jepang memiliki tradisi keramahan tanpa pamrih yang ternyata berasal dari praktik yang dikenal dengan istilah motenashi atau omotenashi.
Landasan budaya Jepang ini didasarkan pada tradisi sadō (upacara minum teh) yang telah berusia berabad-abad. Selain untuk menyajikan (dan menerima) teh, salah satu tujuan utama upacara minum teh ini adalah agar tuan rumah dapat memastikan bahwa setiap kebutuhan tamu mereka terpenuhi tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Tamu diharapkan dapat menikmati keramahtamahan tuan rumah dengan menunjukkan rasa terima kasih. Hal inilah yang pada akhirnya menciptakan lingkungan yang harmonis dan saling menghormati.
Omotenashi sering diterjemahkan sebagai keramahan dan semangat melayani, tetapi sesungguhnya istilah tersebut mengandung makna yang lebih luas. Menurut Japan Today, “mengantisipasi kebutuhan” adalah makna yang lebih tepat dari istilah omotenashi sesungguhnya.
Berbagai industri jasa di Jepang memegang teguh prinsip ini, dan bahkan konsep omotenashi juga dipraktikkan dalam kehidupan pribadi tiap anggota masyarakat di Jepang. Jauh sebelum pandemi COVID-19 menjadikan pemakaian masker di tempat umum sebagai norma global, orang Jepang sudah mempraktikkan hal ini. Mereka yang sedang menderita flu selalu mengenakan masker bedah untuk mencegah penyebaran flu ke orang lain. Contoh lainnya adalah, para tetangga biasanya akan mengantarkan deterjen yang dibungkus kado kepada mereka yang akan memulai membangun pekerjaan konstruksi. Hal ini dilakukan sebagai sebuah tanda kasih, untuk membantu membersihkan pakaian dari debu yang pasti akan beterbangan sepanjang periode pembangunan.
- Italia
Orang Italia sepertinya telah lebih dulu menemukan konsep ‘membayar di depan’ melalui tradisi caffè sospeso mereka. Istilah caffè sospeso secara kasar dapat diterjemahkan sebagai “kopi yang ditangguhkan”. Praktik ini berawal sekitar lebih dari seratus tahun yang lalu di sebuah kedai kopi kelas pekerja di kota Napoli.
Caffè sospeso atau “suspended coffee” merupakan bentuk kebaikan dimana orang akan memesan dua kopi, tetapi meminum hanya satu karena yang lainnya “ditangguhkan” untuk diberikan kepada mereka yang kurang mampu yang datang kemudian ke kedai kopi tersebut. Dengan demikian, orang-orang yang tidak mampu membeli kopi dapat sewaktu-waktu datang dan menanyakan apakah sospeso tersedia bagi mereka untuk bisa minum kopi secara gratis.
Tindakan kebaikan kecil ini sangatlah indah karena pemberi dan penerima mungkin tidak akan pernah bertemu. Menariknya, dalam beberapa dekade terakhir tradisi ini telah menyebar dari Italia ke berbagai negara dan menjadi gerakan kebaikan yang sifatnya global.
- Afrika Selatan
Di Afrika Selatan dikenal kata Ubuntu yang artinya “Saya ada karena kita ada”. Konsep yang diusung oleh budaya ini mendorong orang untuk menyadari bahwa kita secara kolektif lebih kuat ketika kita menunjukkan kebaikan terhadap satu sama lain.
Konsep ini pertama kali didokumentasikan pada pertengahan abad kesembilan belas, akan tetapi menjadi dikenal luas melalui karya anti-apartheid Uskup Agung Cape Town, Desmond Tutu, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian. Desmond Tutu menggunakan filosofi ini sebagai cara untuk mengatasi perpecahan mendalam yang ada di Afrika Selatan saat itu. Tindakannya menunjukkan bagaimana kita dapat memperoleh manfaat dari bersikap ramah dan murah hati kepada semua orang.
Bagi sebagian orang, Ubuntu memiliki peran seperti kekuatan jiwa yang akan mendorong seseorang ke arah tindakan tanpa pamrih, yang pada akhirnya memberikan manfaat luar biasa bagi masyarakat. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka menunjukkan kebaikan dan kasih sayang terhadap sesama, seperti berbagi sumber daya, peduli terhadap satu sama lain, serta memperhatikan anak-anak dalam sebuah komunitas. Tidak heran bila kemudian muncul pepatah dari Afrika: “It takes a village to raise a child” (“Dibutuhkan satu desa untuk membesarkan anak”).
- Myanmar
Terlepas dari kenyataan bahwa negara kecil di Asia Tenggara ini memiliki tingkat kemiskinan yang begitu tinggi, Myanmar dinobatkan sebagai negara paling dermawan urutan ketujuh di dunia pada tahun 2021. Hal ini terjadi karena sebagian besar populasi di Myanmar mempraktikkan Buddhisme Theravada, yaitu aktivitas yang melibatkan pemberian sumbangan untuk mendukung 1% populasi di sana, yang adalah biksu Buddha. Para biksu, yang hanya mengandalkan sumbangan makanan dan uang dari aktivitas tersebut untuk bertahan hidup, kemudian menyediakan makanan yang dimasak untuk orang-orang yang paling miskin di negara itu, sehingga pada akhirnya terciptalah siklus kedermawanan di seluruh negeri tersebut.
- Selandia Baru
Ada tindakan kebaikan untuk diri sendiri, ada tindakan kebaikan untuk orang lain, dan ada pula tindakan kebaikan untuk dunia tempat kita tinggal. Selandia Baru adalah contoh utama negara dengan budaya yang mempraktikkan hal ini.
Kaitiakitanga, yang berarti perwalian dan perlindungan, adalah konsep yang berasal dari bangsa Māori yang berarti penjagaan terhadap langit, laut, dan darat. Konsep ini mempercayai bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk menjaga alam. Hal inilah yang kemudian mendasari banyak negara untuk mengembangkan berbagai cara dalam mengelola lingkungan.
Pada tahun 2017, pemerintah Selandia Baru menganugerahkan Sungai Whanganui di North Island sebuah hak hukum yang sama dengan manusia, dimana siapa saja yang melukai badan air di sungai tersebut akan dihukum secara sama dengan mereka yang melukai manusia. Suku Whanganui berjuang selama 140 tahun dalam perundingan dengan pemerintah sampai akhirnya hak sungainya berhasil disetarakan dengan hak makhluk hidup oleh negara. Sungguh menginspirasi ya!
- Singapura
Singapura telah melangkah lebih jauh dengan membuat tindakan kebaikan menjadi gerakan yang resmi. Gerakan Kebaikan Singapura (Singapore Kindness Movement) adalah organisasi nirlaba yang diinspirasi oleh mantan Perdana Menteri Goh Chok Tong. Terdaftar sebagai “Lembaga Karakter Publik” yang resmi, organisasi ini bekerja untuk menginspirasi “kebaikan” kepada penduduk Singapura dengan memasang berbagai tanda di alat transportasi publik, dan menulis berbagai tips di situs web mereka. Kita bahkan dapat mengikuti kuis di situs tersebut untuk mengetahui seberapa baiknya kita dan bagaimana kita dapat berkembang menjadi lebih baik lagi.
- Iran
Pada tahun 2015, seseorang di Masyhad secara anonim mendirikan “dinding kebaikan”, dan gagasan itu dengan cepat menyebar ke seluruh negeri Iran. “Dinding kebaikan” ini berfungsi sebagai ruang sumbangan publik untuk pakaian, makanan, atau apa pun yang ingin diberikan oleh para donatur. Jika ada orang yang lewat membutuhkan sesuatu, mereka dapat mengambilnya secara gratis di sana.
Semangat gerakan kebaikan ini berakar pada budaya Persia, yang juga menjunjung tinggi seni etiket yang disebut Taarof, yaitu etiket yang mengutamakan kesopanan dalam setiap interaksi sosial.
Sekarang kita bisa melihat bahwa tindakan kebaikan adalah bagian dari semua budaya di seluruh dunia, walaupun dimaknai dan dipraktikkan dengan cara yang berbeda-beda. Meskipun ada beberapa kesamaan (dan hampir semua orang setuju bahwa dibutuhkan lebih banyak lagi kebaikan di dunia ini), kita harus menyadari bahwa satu bentuk kebaikan tertentu mungkin tidak serta merta memenuhi harapan semua orang – apalagi bila yang menilai berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Akan tetapi, memahami dan menghargai budaya lain akan membantu kita semua untuk menumbuhkan lingkungan yang lebih ramah, sehingga setiap dan semua bentuk kebaikan dapat tumbuh dengan subur.
Yuk, kita mulai lakukan tindakan kebaikan. Kita bisa mulai dari hal-hal yang kecil dulu. Untuk diri sendiri, untuk orang-orang terdekat, dan untuk lingkungan tempat kita tinggal. Selamat melakukan kebaikan!